Secara yuridis, YASPRA berdiri pada tahun 1984 dengan dokumen akta notaris nomor 68, tertanggal 30 Mei 1984. Meskipun secara hukum baru berdiri pada tahun tersebut, namun kiprah YASPRA sebenarnya telah berusia jauh sebelum itu. Tahun 1984 adalah catatan secara yurisdiksi, tetapi cikal bakal berdiri Yayasan ini dapat ditelusuri sejak tahun 1947.
Tahun 1947, seorang tentara bernama Abdul Hadi singgah di desa Prawoto. Tentara asal Tegal, Jawa Tengah, ini berada di tempat tersebut dalam rangka mengemban tugas Negara.
Teka-teki mengenai tugas apa yang dijalankan oleh Abdul Hadi singgah di Prawoto terdapat beberapa versi. Menurut Ahmad Junaidi, Abdul Hadi adalah seorang tentara dari Divisi Siliwangi yang sedang mengadakan pengejaran kepada Amir Syarifuddin dan tentaranya.
Sebagaimana sejarah mencatat, bahwa pada awal-awal pasca kemerdekaan, Indonesia telah mengalami bermacam pemberontakan, yang di antaranya dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1948. Pemberontakan dimulai ketika tokoh-tokoh PKI, seperti Amir Syarifuddin dan Musso, memproklamirkan berdirinya Republik Sovyet Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di Madiun. Peristiwa ini sekaligus menandai sebuah pemberontakan. Untuk menumpasnya, pemerintah Indonesia melancarkan Gerakan Operasi Militer (GOM) I.
Pemberontakan itu berhasil dilumpuhkan dan sisa-sisa pasukan pemberontak melarikan diri hingga ke sepanjang pegunungan Kendeng bagian barat, di mana desa Prawoto terletak. Dalam catatan sejarah Indonesia, pemberontakan ini sering dikenal sebagai Madiun Affair. Sebelumnya, PKI yang terbentuk pada tahun 1920, juga pernah melancarkan pemberontakan pada tahun 1926, yang dimulai pada tanggal 13 Nopember. Peristiwa ini menyebar dari Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pemberontakan 1926 ini berhasil dipadamkan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Untuk beberapa lama, PKI tenggelam dan bangkit kembali pada tahun 1946 ketika pemerintah Indonesia mengijinkan pembentukan partai-partai.
Ahmad Junaidi menceritakan, dalam rangka memburu Amir Syarifuddin dan tentaranya itu, tentara divisi Siliwangi singgah beberapa lama di desa Prawoto. Salah seorang anggotanya, bernama Abdul Hadi, menetap beberapa tahun di desa ini. Ketika itulah, Abdul Hadi tergerak untuk memberikan pendidikan kepada penduduk dengan mendirikan Madrasah Diniyah. Peristiwa itu, menurut Ahmad Junaidi, terjadi pada tahun 1947 dengan alasan akta pendirian Diniyah bertanda tahun itu.
Penulis menemukan kejanggalan besar dalam informasi Ahmad Junaidi tersebut. Perburuan terhadap Amir Syarifuddin mestinya terjadi setelah pemberontakan PKI, yakni pada tahun 1948. Namun diceritakan kalau Abdul Hadi mendirikan Madrasah pada tahun 1947, satu tahun sebelumnya. Jika pendirian Madrasah memang pada tahun 1947, penulis menduga, saat itu ia mendapat tugas ketentaraan tetapi bukan dalam missi menumpas Amir Syarifuddin dan tentaranya, namun dalam missi lain.
Sedangkan menurut H. Husein, Abdul Hadi adalah tentara yang mengadakan tugas dalam rangka memerangi pemberontakan-pemberontakan yang pada tahun 1948-an sering terjadi. Adapun menurut H. Masdapi, Abdul Hadi adalah seorang gerilyawan yang sedang singgah di Prawoto dalam rangka memerangi Belanda berusaha mengadakan agresi terhadap Indonesia.
Ketiga versi di atas, bagi penulis, belum bisa memberikan informasi yang valid mengenai misi apakah yang sedang diemban oleh Abdul Hadi. Hanya status sebagai tentara Indonesia itulah yang dapat diketahui secara pasti. Sedangkan jati diri lainnya, seperti berapa lama dia bermukim di Prawoto, apakah mempunyai keluarga di desa tersebut, adakah keturunannya di situ, dan lain-lain, tetap menyisakan pertanyaan yang belum dapat terjawab.
Abdul Hadi diceritakan sebagai seorang yang cukup mengetahui agama dan peduli dengan pendidikan agama. Didorong oleh keinginannya agar pendidikan agama di Prawoto dan sekitarnya lebih baik, maka ia bersama-sama dengan beberapa tokoh agama memotori berdirinya lembaga pendidikan.
Haji Husein menjelaskan, waktu itu, tahun 1948, di Prawoto sebenarnya sudah ada pendidikan agama. Hanya saja belum berada di sekolahan. Pendidikan agama masih berada dan menyebar di mushola-mushola. Salah satu mushola terletak kurang lebih dua ratus meter arah barat masjid Jami’. Karena pertimbangan pembelajaran agama di mushola kurang maksimal, maka Abdul Hadi yang seorang pendatang, beserta dengan beberapa tokoh agama seperti Kyai Abdul Madjid, Haji Muslim, dan beberapa nama lain, mendirikan sebuah bangunan sekolah sederhana. Bangunan ini berdinding kayu dengan atap gebyok. Catnya warna hitam, yang berasal dari aspal. Karena itu, bangunan sekolah ini sering disebut masyarakat setempat sebagai omah ireng (rumah hitam).
Sekolah ini pada mulanya difungsikan sebagai Madrasah Diniyah (sekolah khusus agama) yang waktu pembelajarannya dilaksanakan pada siang hari (antara pukul satu siang hingga setelah waktu Ashar). Yang mula-mula yang menjadi murid di sini ialah mereka yang sekolah di Sekolah Rakyat (SR). Tidak saja mereka yang bersekolah di SR, mereka yang pagi tidak bersekolah juga menjadi murid di Madrasah yang baru ini. Menurut Ali Muhshon, murid pertama sekitar 16 orang.
Sebagaimana tersebut di atas, sebenarnya di Prawoto telah ada sekolah rendah, setingkat Sekolah Dasar sekarang, tetapi sekolah ini hanya memberikan pelajaran umum. Sedangkan pelajaran agama kurang mendapatkan porsi cukup. Saat itu, di desa Prawoto belum ada sekolah yang memberikan pelajaran agama secara khusus. Dengan melihat kenyataan itulah, Abdul Hadi dan beberapa tokoh agama setempat berusaha mendirikan sekolah yang memberikan pelajaran agama secara spesifik, dengan nama Madrasah Al-Hidayah.
Tahun 1964, seiring dengan kebijakan pemerintah, maka dimasukkanlah pelajaran umum seperti menghitung, ilmu bumi, dan lain-lain ke dalam Madrasah. Merespon kebijakan itu, Madrasah dipindah jam masuknya menjadi pagi, dan didirikan Madrasah Wajib Belajar (MWB). Sementara itu, untuk mempertahankan pendidikan agama secara spesifik, Madrasah Diniyah tetap dipertahankan. Dengan kata lain, dengan adanya kebijakan Pemerintah agar Madrasah menggunakan kurikulum baru dengan memasukkan pelajaran umum, maka Pengurus mendirikan Madrasah baru yakni MWB.
Setelah tahun 1966, MWB diganti nama menjadi Madrasah Ibtidaiyah (M.I.) dengan mengacu pada kebijakan Pemerintah. Nama yang dipilih untuk M.I. ini ialah Al-Hidayah. Sekitar tahun 1970an, Pemerintah mengadakan program Ujian Guru Agama (UGA). Program ini dimaksudkan supaya guru-guru Madrasah mempunyai sertifikat sebagai guru agama. Untuk memfasilitasi itu, Pengurus mendirikan Madrasah Mu’alimin. Madrasah ini tidak berlangsung lama, hanya berjalan beberapa tahun, kemudian diganti menjadi sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA). Sekolah PGA ini juga tidak bertahan lama, dan kemudian berganti lagi menjadi Madrasah Tsanawiyah Islam (MTsI). MTsI berjalan hingga tahun 1983.
Hingga tahun 1983, lembaga ini bernama Taman Pendidikan Islam Prawoto. Waktu itu orang-orang yang menangani hanya disebut sebagai Pengurus, tanpa embel-embel apapun. Sampai tahun 1984, dengan alasan agar lembaga pendidikan mempunyai badan hukum, maka diusulkan agar membentuk sebuah Yayasan. Maka terbentuklah sebuah Yayasan pendidikan Islam dengan nama Yayasan Sunan Prawoto. Pemilihan nama “Sunan Prawoto” karena di desa ini terdapat sebuah makam tua yang dipercaya sebagai makam Sunan Prawoto. Karena itu pula desa ini juga dinamakan desa Prawoto. Dengan berdirinya Yayasan Sunan Prawoto yang berbadan hukum diharapkan akan lebih memudahkan dalam menjalankan lembaga pendidikan, terutama ketika berurusan dengan Negara maupun lembaga-lembaga lain.
Kamis, 31 Desember 2009
Jumat, 27 November 2009
Sejarah MTs Sunan Prawoto
Madrasah Tsanawiyah (MTs) Sunan Prawoto didirikan pada tahun 1976. Sebelum menjadi MTs, pada awal berdirinya, adalah Madrasah Mualimin. Karena dinilai kurang strategis, Madrasah Mualimin bertahan tidak lama, hanya beberapa tahun. Setelah itu, diganti menjadi sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA). Sekolah ini pada akhirnya juga tidak bertahan lama karena dinilai kurang prospektif. Selain itu juga untuk memenuhi kebijakan pemerintah yang akan menghapuskan PGA.
Seiring dengan itu, PGA pun kemudian dibubarkan dan diganti menjadi Madrasah Tsanawiyah Islam (MTsI), di bawah naungan Pengurus Taman Pendidikan Islam Prawoto (TPIP). Kemudian, ketika TPIP bermetamorfosa menjadi Yayasan Sunan Prawoto serta berbadan hukum, maka pada tanggal 10 Juli 1986, MTsI resmi berganti nama menjadi MTs Sunan Prawoto. Nama terakhir inilah yang bertahan hingga hari ini.
MTs menempati gedung seluas 608 m2, dengan halaman 640 m2, di atas bidang tanah wakaf 1248 m2. Sejak menjadi MTs Sunan Prawoto, status akreditasi MTs mengalami perubahan dari Terdaftar pada 14 Desember 1987, menjadi Diakui pada 30 Juni 1993 dan 25 Maret 1999. Dan pada 18 April 2005 hingga saat ini berstatus terakreditasi B.
Selama itu pula, baru empat nama yang menjadi Kepala Madrasah, yaitu H. Masdapi, B.A. (1986-1990, 1996-2001, 2001-2005), H. Ali Mahmudi HS (1990-1992), H. Chumaidi Af, A.Md. (1992-1996), dan Ahmad Junaidi, A.Md. (2005-sekarang). Saat ini, tenaga kependidikan di MTs berjumlah 37 orang.
Dalam beberapa hal, MTs mungkin agak stagnan, terutama apabila dilihat dari segi sarana-prasarana yang tidak banyak berubah. Bangunan utama gedung masih berupa gedung tua yang didirikan pada awal mula pendiriannya, yakni ketika masih bernama Madrasah Mualimin. Hanya ada tambahan di halaman sisi timur, tiga ruang kelas, serta halaman sisi barat yang didirikan lima ruang. Kondisinya juga tidak lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain di lingkungan YASPRA. Menurut penuturan Silaturahmi, di antara lembaga-lembaga di YASPRA, MTs dinilai yang paling kurang bagus kondisinya. Karena itu, target rencana pembangunan gedung yang diprioritaskan untuk beberapa tahun ke depan ialah rehabilitasi gedung MTs.
MTs merupakan sekolah SLTP pertama yang ada di Prawoto, meskipun demikian, dengan melihat fasilitas yang ada, belum dapat dibandingkan dengan sekolah sejenis milik Negara. Hingga saat ini sarana prasarana yang dimiliki hanya 9 ruang kelas, ruang kepala, ruang guru, ruang TU yang dijadikan satu dengan perspustakaan, laboratorium komputer, gudang dan toilet. Semua dalam kondisi baik, meskipun kurang ideal.
Kondisi sarana-prasarana yang tidak lebih baik dibanding sekolah lain yang sederajat di Prawoto, tidak menghalangi minat masyarakat untuk menyekolahkan putra-putrinya di MTs.
DATA SISWA MTs SUNAN PRAWOTO 2009-2010
VII
A B C
2007/2008 45 45 45
2008/2009 42 45 43
2009/2010 50 50 46
Seiring dengan itu, PGA pun kemudian dibubarkan dan diganti menjadi Madrasah Tsanawiyah Islam (MTsI), di bawah naungan Pengurus Taman Pendidikan Islam Prawoto (TPIP). Kemudian, ketika TPIP bermetamorfosa menjadi Yayasan Sunan Prawoto serta berbadan hukum, maka pada tanggal 10 Juli 1986, MTsI resmi berganti nama menjadi MTs Sunan Prawoto. Nama terakhir inilah yang bertahan hingga hari ini.
MTs menempati gedung seluas 608 m2, dengan halaman 640 m2, di atas bidang tanah wakaf 1248 m2. Sejak menjadi MTs Sunan Prawoto, status akreditasi MTs mengalami perubahan dari Terdaftar pada 14 Desember 1987, menjadi Diakui pada 30 Juni 1993 dan 25 Maret 1999. Dan pada 18 April 2005 hingga saat ini berstatus terakreditasi B.
Selama itu pula, baru empat nama yang menjadi Kepala Madrasah, yaitu H. Masdapi, B.A. (1986-1990, 1996-2001, 2001-2005), H. Ali Mahmudi HS (1990-1992), H. Chumaidi Af, A.Md. (1992-1996), dan Ahmad Junaidi, A.Md. (2005-sekarang). Saat ini, tenaga kependidikan di MTs berjumlah 37 orang.
Dalam beberapa hal, MTs mungkin agak stagnan, terutama apabila dilihat dari segi sarana-prasarana yang tidak banyak berubah. Bangunan utama gedung masih berupa gedung tua yang didirikan pada awal mula pendiriannya, yakni ketika masih bernama Madrasah Mualimin. Hanya ada tambahan di halaman sisi timur, tiga ruang kelas, serta halaman sisi barat yang didirikan lima ruang. Kondisinya juga tidak lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain di lingkungan YASPRA. Menurut penuturan Silaturahmi, di antara lembaga-lembaga di YASPRA, MTs dinilai yang paling kurang bagus kondisinya. Karena itu, target rencana pembangunan gedung yang diprioritaskan untuk beberapa tahun ke depan ialah rehabilitasi gedung MTs.
MTs merupakan sekolah SLTP pertama yang ada di Prawoto, meskipun demikian, dengan melihat fasilitas yang ada, belum dapat dibandingkan dengan sekolah sejenis milik Negara. Hingga saat ini sarana prasarana yang dimiliki hanya 9 ruang kelas, ruang kepala, ruang guru, ruang TU yang dijadikan satu dengan perspustakaan, laboratorium komputer, gudang dan toilet. Semua dalam kondisi baik, meskipun kurang ideal.
Kondisi sarana-prasarana yang tidak lebih baik dibanding sekolah lain yang sederajat di Prawoto, tidak menghalangi minat masyarakat untuk menyekolahkan putra-putrinya di MTs.
DATA SISWA MTs SUNAN PRAWOTO 2009-2010
VII
A B C
2007/2008 45 45 45
2008/2009 42 45 43
2009/2010 50 50 46
Kamis, 26 November 2009
Langganan:
Postingan (Atom)